Kuansing, Kurenah.com – Ketua Umum Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu Riau (MKA-LAMR) Kabupaten Kuansing, Datuk Seri Pebri Mahmud menuturkan keberadaan masyarakat hukum adat di Kuansing perlu adanya legalitas berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Untuk diketahui, pemerintah menerbitkan beberapa peraturan tentang keberadaan, hak dan kewajiban masyarakat adat sebagaimana diamanatkan Undang-Undang nomor 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan Permendagri nomor 52 tahun 2014 tentang pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.
“Kepastian hukum bagi masyarakat hukum adat di Kuansing belum ada. Itu yang menjadi kelemahan, sehingga tidak bisa mengklaim hak-haknya. Contoh tanah ulayat, itu tidak bisa di klaim karena legalitas pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat itu sendiri belum ada,” ujarnya.
Datuk Seri Pebri Mahmud mengatakan sebagai negara hukum legalitas tersebut merupakan hal penting, dan sangat diperlukan agar adanya kepastian hukum, dan perlindungan hukum terkait hak-hak masyarakat hukum adat itu sendiri.
“Walaupun secara realita masyarakat adat di Kuansing itu ada, tapi secara produk hukum sebagaimana diamanatkan Permendagri nomor 52 tahun 2014 tentang pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, setahu saya di Kuansing itu belum ada,” jelasnya.
Oleh karena itu, agar kedepannya hak-hak ulayat di Kuansing dapat dimanfaatkan dan dikelola sebagaimana mestinya, hal pertama yang perlu dilakukan oleh pemerintah terkait yaitu membuat legalitas tentang pengakuan masyarakat hukum adat melalui Perda atau Perbup.
“Setelah legalitas itu ada, baru kita bicara hak ulayat. Ini penting, kepastian hukum itu hal yang mendasar. Sebab kalau belum ada legalitas tentu kita tidak bisa serta merta mengklaim hak ulayat secara sepihak,” jelas Datuk Seri Pebri Mahmud kepada Rakyatterkini.com, Senin (16/1/2023).
Sementara, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kuansing, Azhar Ali mengakui legalitas pengakuan masyarakat hukum adat oleh pemerintah daerah sebagaimana diatur peraturan perundang-undangan bahwa peraturan tersebut di Kuansing memang belum ada.
Menurut Azhar Ali, berkaitan dengan hal masyarakat adat di Kuansing memang pemerintah daerah saat ini konsen memberdayakan pemangku adat.
Artinya, selama ini diketahui bahwa istilah ‘tali tigo sapilin’ baru sekadar sebutan saja, belum diperankan sebagiamana mestinya.
“Oleh karenanya, saat ini kita tengah membuat rancangan dan menggodok peraturan Bupati tentang masyarakat hukum adat. Nah, ketika dasar hukum ini nanti sudah sah maka harapan kita ketika ada persoalan anak cucu kemenakan atau hak ulayat bisa diselesaikan secara musyawarah adat,” ujarnya. (hen)